ANALISIS KRITIS TERHADAP FENOMENA KAUM ATHEIS DI INDONESIA

Jumat, 09 Maret 2012

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sejarah kebudayaan, manusia di kenal sebagai makhluk yang beragama. Bahkan manusia dikenal sudah lama menyembah Tuhan dalam pelbagai bentuk, dan manusia di manapun tertarik untuk memikirkan Tuhan dari pelbagai sudut. Di India, agama Hindu yang menjadi agama tertua leluhur mereka merupakan agama yang menyembah banyak dewa dan dewi (Armstrong, 2007). Agama Budha lahir dari pemikiran seorang putra mahkota bernama Siddharta yang lahir pada tahun 623 SM. Pangeran Siddharta adalah putra dari raja dari sebuah kerajaan kecil di kaki pengunungan Himalaya, sekarang perbatasan Nepal-India (Capra, 2006 dan Mulyono 2008). Di Eropa realitas Tuhan dan alam semesta muncul dalam pemikiran masyarakat yang kemudian menjadi dasar untuk mencari pengetahuan dan dikenal dengan sebutan ’philosophia’ yang berarti cinta akan pengetahuan (Hatta, 1986). Sepanjang perkembangan agama dan ketuhanan, agama Abrahamik yakni Yahudi, Kristen, dan Islam menjadi agama yang mendominasi di dunia. Kekhasan dalam agama ini adalah mereka hanya memiliki satu Tuhan yakni Allah (Armstrong, 2007).

Masalah Ketuhanan sejak dulu kala memang merupakan sesuatu yang sangat sakral untuk dibicarakan. Di tengah maraknya pembicaraan dan pemujaan terhadap Tuhan, namun tetap saja ada beberapa problematika religius yang dialami oleh manusia. Salah satunya adalah seperti legenda klasik pada filsuf Epicurus pada tahun 341-270 SM yang mempertanyakan kembali eksistensi Ketuhanan.

“…Atau Tuhan mau menghapuskan keburukan, tetapi tidak mampu; atau sebenarnya ia mampu, tetapi tidak mau; atau ia tidak mampu dan tidak mau. Jikalau ia mau, tetapi tidak mampu, ia lemah…. Jikalau ia mampu, tetapi tidak mau, dia jahat…. Tetapi, jikalau Tuhan mampu dan mau menghapuskan kejahatan, … lantas bagaimana kejahatan ada di dunia?” (dalam Lee Strobel, The Case for Faith, Zondervan, 2000:25. bdk. Teodice. 2006:230, dalam Kleden, 2006).

Puncak dari problematika religius yang dihadapi manusia, yakni sejak abad ke-XVI. Sejak Revolusi Industri dan ditemukannya teleskop oleh Galileo Galilei telah membuktikan bahwa teori Copernican benar. Teori Copernican yang dikenal dengan Heliosentris menyatakan bahwa matahari sebagai pusat alam semesta (Besari, 2008 dan Lippincolt, 1997). Teori Heliosentris ini meruntuhkan teori Geosentris Aristoteles yang menyatakan bahwa bumi sebagai pusat alam semesta. Sejak penemuan Galileo tersebut, kepercayaan masyarakat Eropa terhadap Gereja mulai berkurang. Akhirnya, pada abad ke-XIX problematika religius manusia tersebut tertorehkan dalam sebuah wacana Filsafat yang kemudian di kenal sebagai ateisme.

Feuerbach dalam karyanya ‘Das Wesen des Christentum’ mengatakan bahwa agama hanyalah sebuah proyeksi manusia. Allah, malaekat, surga, dan neraka tidak memiliki kenyataan pada dirinya sendiri, karena merupakan angan-angan manusia tentang hakekatnya sendiri. Oleh sebab itu, Feuerbach mengatakan bahwa manusia hanya dapat mengakhiri keterasingannya dan menjadi diri sendiri apa bila ia meniadakan agama. Manusia harus menolak kepercayaan terhadap Allah yang Maha kuat, Maha baik, Maha adil, Maha tahu agar manusia menjadi kuat, baik, adil, dan tahu (Magnis-Suseno, 2006).

Karl Marx seorang tokoh sosialis, dengan mendukung pernyataan Feuerbach tersebut juga memberikan landasan utama tentang konsep alienasi Feuerbach, yakni, bahwa sanya manusia melarikan diri ke hayalan dari pada melanjutkan diri dalam kehidupan nyata, karena dalam kehidupan nyata struktur kehidupan dalam masyarakat tidak mengijinkan manusia untuk mewujudkan hakekatnya. Maka dari itu manusia melarikan diri ke dunia khayalan, karena dunia nyata menindasnya. Berdasarkan uraian tersebut maka Marx menyatakan bahwa agama adalah candu rakyat (Magnis-Suseno, 2006).

Sedangkan Nietzsche dalam ’Die FrÖhliche Wissenschaft’, memaklumkan bahwa Tuhan sudah mati, Tuhan sudah di bunuh, dan manusialah yang telah membunuh Tuhan, dan secara beramai-ramai sudah di kuburkan (Sunardi, 1996).

Sementara itu Freud dalam ‘The Future of an Illusion’, dengan yakin menganggap kepercayaan kepada Tuhan sebagai ilusi yang harus di ditinggalkan manusia (Armstrong, 2007). Menurut Freud agama merupakan suatu ilusi yang berasal dari semacam infantilisme. Kepercayaan religius merupakan suatu penghiburan, suatu kompensasi untuk keadaan manusia yang terlalu berat dan bengis. Paham Allah merupakan penciptaan oleh manusia menurut model ayah sejakmasa kenak-kanak, dimana ayah sebagai figur pelindung sekaligus sebagai yang ditakuti (Berten, 1987).

Di abad ke-XXI wacana ateisme semakin menunjukkan eksistensinya di Dunia. Sejak ahli sains Richard Dawkins, Filsafat Cristoper Hitchans, dan kritikus Sam Harris, yang dalam karya-karya mereka, sebagian besar berupa kritik terhadap konsepsi Ketuhanan dan peranan agama-agama saat ini. Christoper Hitchens, misalnya, dalam ‘God is not Great’ mempertanyakan eksistensi Tuhan lewat kejadian 9/11, katrina, dan tsunami, yang melalui teodice tidak bisa dijawab. Bagi Hitchens tidak ada lagi dasar untuk percaya pada Tuhan. Sementara itu Sam Harris, dalam ‘Letter to a Christian Nation’, yang menyatakan bahwa semakin kau cari ke dalam agama, intoleransi yang kau temukan. Sementara Richard Dawkins dalam ‘The Prove of Existence of God’, berpendapat bahwa semakin diperiksa manusia dengan seluruh proses evolusinya, ketahuanlah bahwa Allah itu tidak faktor, tidak menjadi faktor penentu manusia sampai begini. Jadi tokoh-tokoh ateisme abad ke-XXI ingin menyatakan bahwa Tuhan dan agama, adalah intoleransi dan irrasionalitas (Mohamad, 2007).

Populasi kaum ateis, agnostik, nonreligion, dan sekuler menurut data statistik dunia yang di teliti oleh Michael Pain hingga tahun 2002 berjumlah sekitar 850 milyar jiwa, atau sekitar 14,2 % populasi penduduk dunia. Di Amerika sendiri, hingga tahun 2001 populasi ateis mencapai 902.000 jiwa, atau sekitar 0,4 % dari seluruh populasi penduduk Amerika (http://atheistempire.com/reference/stats/).

Sementara itu di Indonesia, populasi kaum ateis tidaklah di ketahui secara pasti berapa juumlahnya. Hal ini karena keberadaan kaum ateis di Indonesia tidaklah diakui oleh Negara. Hal ini karena Indonesia adalah Negara yang berdasarkan pada Ketuhanan yang Maha Esa. Sehingga, ateisme baik sebagai konsep filosofis maupun penyangkalan adanya Tuhan dalam praktis kehidupan tidak mendapat tempat di Negara ini. Namun demikian, meski atas landasan diatas tersebut, tidak menutup kemungkinan pula adanya pribadi-pribadi yang ateis dalam masyarakat Indonesia. Seperti yang di ungkapkan oleh Alex Zulkarnaen dalam sebuah wawancara dengan peneliti berikut;

”…musibah gelombang tzunami tanggal 26 Desember 2004, yang melanda NAD dan sebagian negara asia lainnya. Respon masyarakat atas musibah ini beragam, tapi semuanya baik langsung taupun tidak langsung, menunjukan sosok misterius, yang ada dibelakang layar, tragedi ini yaitu Tuhan…”

“…semua yang terjadi dibumi ini atas kehendak Tuhan. Tuhan adalah sebab dari segala masalah. Maka dari teori ini tidak bisa diterima Tuhan. Jadi ada bencana itu dari Tuhan…”

“…Secara rasioanal itu konsep salah. Tidak ada Tuhan, konsepnya sudah rancu…”.

B. Rumusan Masalah

Ateisme merupakan penolakan terhadap konsepsi ketuhanan yang sedang berlaku pada suatu saat (Armstrong, 2007). Pada mulanya, term ateis memang ditujukan kepada orang Yahudi dan Kristen karena telah mengingkari keyakinan kaum pagan tentang yang Ilahi, meskipun mereka beriman kepada suatu Tuhan. Baru setelah abad ke-XIX term ateis ditujukan kepada mereka yang secara khusus mengecam konsepsi ketuhanan yang tengah di anut di Barat.

Di Indonesia sendiri, fenomena ateisme tampaknya jauh dari pembicaraan masyarakat Indonesia sendiri. Masyarakat tampaknya malah terkesan masih kental dalam urusan keagamaan dan ketuhanan. Wacana agama dan Tuhan tetap menjadi topik yang menarik dan tidak bosan-bosannya untuk dibicarakan. Tidak ada hari dimana media massa maupun media elektronik yang tidak membawa berita yang berkaitan dengan agama dan Tuhan. Hal ini dikarenakan dalam paradigma masyarakat Indonesia keberadaan kaum ateis tidak mungkin ada dalam Negara yang berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan, kalaupun ada Pemerintah pasti melarang keberadaan kaum ini. Hal ini karena dogtrin Negara yang telah mensinonimkan ateisme dengan komunisme di masa lalu. Sehingga, jelas bahwa keberadaan kaum ini-pun sangatlah dilarang oleh Negara Indonesia. Sementara itu di lain pihak para ahli agama memberi label kaum ateis sebagai orang bebal, bodoh, bid’ah, zindiq atau kafir.

Pembicaraan ateisme akhir-akhir ini terlihat lebih marak di situs-situs internet dalam bentuk blog-blog baik berupa artikel, diskusi, maupun tanya-jawab. Banyak sekali tanggapan dari pandangan kaum teis terhadap kaum ateis, meski senyatanya mereka tidak mengenali kaum ateis tersebut baik secara personal, historis, hingga ideologi kaum ateis. Sedangkan dalam literatur harian post kota, tidak lain hanyalah sebuah profokatif belaka dari eksistensi kaum ateis tersebut yang kian marak di salah satu jaringan komunikasi internet.

Eksistensi kaum ateis di Indonesia dalam realitasnya selain mendapatkan hujatan dan penolakan namun juga pada dasarnya juga mendapatkan empati dan dukungan khususnya dari masyarakat sekuler dan liberal dalam keberagamaan. Bagi mereka keberadaan kaum ini seharusnya mendapatkan tempat yang layak oleh Pemerintah. Namun, apapun pandangan kedua belah pihak tersebut, peneliti ingin melihat lebih dekat dan apa adanya dalam melihat fenomena keberadaan kaum ateis di Indonesia.

Memang, keberadaan kaum ateis di Indonesia merupakan fenomena yang masih sangat kontroversial. Namun, atas dasar itulah maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian terhadap kaum ateis tersebut dengan melakukan analisa secara kritis terhadap segala realitas yang akan menampakkan dirinya yakni realitas pada fenomena kaum ateis di Indonesia tersebut, dengan rumusan-rumusan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah latarbelakang seseorang hingga memutuskan untuk menjadi ateis?

2. Apasajakah paradigma-paradigma yang ada di balik fenomena ateisme di Indonesia?

3. Apakah perbedaan antara ateisme di Barat dengan di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, dengan berdasarkan pada paradigma pendekatan teori Fenomenologi Hursell dan Heidegger maka peneliti akan melihat fenomena tersebut dengan apa adanya. Sedangkan metode dan pengumpulan data dalam penelitian ini dengan berdasarkan pada metode kualitatif. Metode analisis data dalam penelitian adalah dengan dua pendekatan yakni dengan berdasarkan Miles and Huberman (1984), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas, dan datanya sampai jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verivication. Pendekatan yang kedua adalah analisis data kualitatif Koentjoro, Prof dengan menggunakan prosedur coding. Coding merupakan proses yang digunakan dimana data diurai, diberi nama, dan dikonseptualisasikan sehingga menghasilkan makna dan perspektif baru. Konsep-konsep yang dihasilkan kemudian digunakan untuk merekonstruksikan realitas sosial yang mampu mempresentasikan kenyataan yang diteliti. Proses coding tersebut meliputi; open coding dan axial coding. Dengan proses coding tersebut maka akan di dapatkan hasil penelitian yang kemudian peneliti akan menganalisis fenomena keberadaan kaum ateis di Indonesia tersebut secara kritis dengan berdasarkan teori psikoanalisis dan filsafat dialektis.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan dalam penelitian tersebut maka jelas bahwa, manfaat yang di diharapkan dalam penelitian ini secara teoritis adalah dapat memberikan informasi yang benar-benar mampu memberikan realitas yang sebenarnya dalam fenomena ateisme di Indonesia. Sedangkan secara praktis penelitian ini diharapkan;

1. Bagi masyarakat: dengan mengetahui realitas dalam fenomena ateisme di Indonesia, maka diharapkan akan memberikan pemikiran yang baru dan bersifat empiris sehingga dapat dijadikan telaah/kajian bagi masyarakat di Indonesia dalam memandang keberadaan kaum ateis di Indonesia.

2. Bagi kaum ateis: dengan analisis kritis ini, maka diharapkan akan menjadi telaah dan feedback baik dari peneliti ke kaum ateis, maupun sebaliknya dari kaum ateis terhadap peneliti.

0 komentar: