Kebimbangan Diri

Senin, 02 April 2012

Kaulah cahaya hidupku..
Penghapus sepi dan senduku..
Pembawa senyuman duniaku..

Tetapi..
Aku bukanlah cahaya hidupmu..
Aku hanya seseorang yang akan kau lupakan..
Seseorang yang tidak memiliki arti lebih bagimu..

Haruskah ku pergi dari cahaya ini..?
Haruskah ku kembali dalam kegelapan hidupku..?
Atau haruskah ku kejar cahaya ini agar dapat selamanya menerangiku..?
Selalu mendampingiku,
dan selalu mencintaiku seperti aku yang selalu mencintainya..

Aku tak tahu..

Puisi untuk Dia

Terima Kasih..
Untuk kebahagiaan yang kau berikan dalam hidupku..
Aku lebih hidup saat bersamamu..

Aku sungguh menginginkanmu menemani hidupku..
Aku sungguh akan selalu menjagamu..

Tetapi aku harus bersikap..
Kau yang tidak mencintaiku tidak akan mengerti perasaanku..
Batinku yang begitu kuat memintaku untuk terus bersamamu,,
memintaku untuk mendekapmu penuh hangat dalam balutan cinta..
Tetapi juga memintaku untuk pergi darimu sejauh mungkin..

Aku tidak akan pergi daari penglihatanmu..
Tetapi hatiku akan pergi dari penglihatan hatimu..
Perasaan ini akan kubuang..
kuhilangkan sejauh mungkin..
Agar tak pernah kan kembali..

Aku juga takkan menunggumu lagi..
Bagiku semua ini sudah berakhir..
Biarlah semua yang telah lalu menjadi kenangan yang indah..
Kenangan yang takkan terlupakan dalam hidup..
Kenangan bahagia yang selamanya akan lekat di dalam ingatan..

Sungguh menyedihkan hati..
Tetapi juga membahagiakan hati..
Cinta yang menjadi pedang bermata dua..
Yang akan selalu menghiasi hidup kita..

Bahagialah kau bersama seseorang yang menjadi pilihanmu..
Aku hanya bisa mendoakanmu..

Kesepian Diri

aku selalu merasa sendiri..
kesendirian yang selalu menghantuiku..
selalu ada dalam hidupku..
selalu menyakitiku..

walau aku bersama sahabatku..
perasaan sendiri itu tetap ada..
walau aku tertawa, di dalam hatiku terdiam..
dan ketika terdiam, hatiku bersedih..

saat aku bersamanya..
perasaan sendiri dan sepi itu perlahan memghilang..
tetapi saat tidak bersamanya,
perasaan itu kembali muncul..

aku sadar bahwa yang selama ini kurasakan hanyalah semu..
kesemuan yang menghilangkan kesendirian untuk sementara..
namun tak pernah menjadi kesemuan abadi..
tak pernah menghilangkan kesendirian untuk sehari..
hanya menutupnya untuk beberapa waktu..
tidak pernah menghapusnya..

aku sadar selama ini aku mengejar kepalsuan..
kepalsuan dari kesemuan yang ada..
kepalsuan yang dilakukan hanya untuk menutup kesendirian sementara..
kepalsuan yang takkan pernah menjadi kebenaran dan kenyataan..
kepalsuan yang selamanya hanya akan menjadi bayang-bayang semu..

Keinginan Hati

biarkanlah semua ini pergi..
lepaskanlah semua ini..
aku tak menginginkan ini..
ingin memiliki, tapi tak bisa memiliki..
ingin mendekap, tapi menghilang walau hanya bayang bayang..
ingin bersama, tetapi tidak pernah sehati..
hanya menemani jasad tanpa hati..

terdiam bisu saat malam menyeka..
begitu sepi hati ini..
begitu sendu rasaku ini..
begitu hampa asaku ini..

indah saat bersama..
indah saat memandang..
indah saat berbicara..
indah saat tahu bahwa semua keindahan itu hanyalah palsu..
kepalsuan yang sakit tapi indah untuk dikenang dan disimpan dalam hati..

Kehidupan yang Baru

Tak kusangka semua ternyata begitu indah..
Hidup ini begitu menyenangkan..
Terlebih..
Saat kau tahu..
Orang yang kau Cintai..
Ternyata juga mencintaimu..

Betapa membahagiakan Hati..
Menenangkan jiwa..
dan Membuat hidup yang mulai terlihat membosankan..
Menjadi baru kembali..

Terima kasih..
Kepada Tuhan yang telah memberikan kesabaran..
dan telah menerangi jalan hidupku..

Terima Kasih..
KepadaNya..
yang mencintaiKu..
Aku juga sangat mencintaiMu..

Kutukan Hidup

Kaulah cahaya hidupku..
Penghapus sepi dan senduku..
Pembawa senyuman duniaku..

Tetapi..
Aku bukanlah cahaya hidupmu..
Aku hanya seseorang yang akan kau lupakan..
Seseorang yang tidak memiliki arti lebih bagimu..

Haruskah ku pergi dari cahaya ini..?
Haruskah ku kembali dalam kegelapan hidupku..?
Atau haruskah ku kejar cahaya ini agar dapat selamanya menerangiku..?
Selalu mendampingiku,
dan selalu mencintaiku seperti aku yang selalu mencintainya..

Aku tak tahu..

Tentang sesuatu di kehidupan saya

Sabtu, 10 Maret 2012

Anda tidak tahu apa apa tentang kejanggalan otak saya.
Anda beku membiarkan diri saya.
Anda tak peduli yang terjadi dengan pembuluh darah di kepala saya.
Hanya akan menangis nanti jika saya mati.
Banyak yang terjadi di pikiran saya.
Halusinasi ketakutan.trauma sakit jiwa di masa lalu.
Anda tidak akan menjawab yang terbaik tentang semua ini.
Karena ada berada di jalan buntu tentang pilihan anda sendiri.
Dan satu satunya keputusan adalah membunuh saya dari hati anda untuk lari.
Kita belum menyelesaikan impian yang kita rangkai dulu.
Tetapi kepala saya terasa sakit oleh waktu yang mulai menyakiti.
Saya hanya bisa meneruskan berhalusinasi sampai menjadi benar benar gila.
Saya tidak akan menangis untuk selamanya.
Karena saya pasti akan berhenti untuk mati.
Saya tidak ada waktu untuk membenci anda.
Karena saya sibuk mencari tahu agar saya sembuh.
Tidurlah dulu agar saya tidak melihat bayangan anda menggoda saya.
Karena saya pasti akan jatuh mengejarnya

Descartes dan Kritik Epistemology

Jumat, 09 Maret 2012

I. DESCARTES “Mengenal Tuhan Lewat Rasionalisasi Epistemologis”

A. Tuhan dalam Perspektif Epistemology Descartes

Ungkapan yang terkenal dari Descartes adalah “Ego cogito, ergo sum, sive existo” atau “aku berfikir maka aku ada (bereksistensi)”. “Cogito” yakni berfikir atau kesadaran dalam filsafat Descartes dijamannya telah menggeser posisi wahyu Allah sebagai sumber pengetahuan yang benar seperti diajarkan dalam abad pertengahan.

Dalam ungkapannya itu pula, Descartes menjelaskan tentang kesadaran dalam diri manusia tentang Tuhan. Lewat jalan pemikiran kesadaran dalam diri manusia ini, Descartes tidak menetapkan bahwa kitab suci sebagai kebenaran dalam membuktikan kebenaran adanya Tuhan.

Manusia, menurut Descartes dapat menerima Tuhan bukan lewat dunia luar manusia melainkan lewat dalam diri manusia, yakni lewat jalan “cogito” atau kesadaran dalam diri manusia. Dalam hal ini ada dua jalan yang bisa ditempuh manusia yakni;

a) Jalan pertama, secara causal prima atau sebab-akibat. Menurut Descartes bahwa ide kesempurnaan Tuhan itu, asalnya disebabkan oleh karena fakta bahwa manusia senantiasa mau mencari kebenaran dan kesempurnaan pengetahuan. Namun, dalam pencariannya ini manusia dihadapkan dalam suatu problematika, yakni keterbatasan manusia dalam mendapatkan kebenaran dan kesempurnaan pengetahuan tersebut. Fakta ini menurut Descartes, disebabkan karena Tuhan telah menanamkan ide kesempurnaan itu dalam diri manusia. Ide tentang Allah ini (kesempurnaan dan kebenaran) menurut Descartes merupakan ide bawaan dari manusia.

b) Jalan kedua, secara ontologis. “Existo” atau Ada (eksistensi). Menurut Descartes, jika manusia itu mengatakan bahwa Allah itu sempurna, maka setidak-tidaknya ada sebuah entitas yang riil eksistensinya (yang menunjukkan keberadaannya). Karena bagi Descartes tidak mungkin suatu sifat itu berdiri sendiri tanpa ada sebuah objek atau predikat yang menyandangnya. Maka bagi Descartes Allah itu ada dan bereksistensi.

Allah bagi Descartes memang berkenaan dengan ide tentang kebenaran dan kesempurnaan pengetahuan. Namun tidak hanya itu (menurutnya), paham Allah juga berkaitan erat dengan kapasitas moral Allah, yakni bahwa Allah itu maha baik dan bisa diandalkan.

B. Kritik atas Epistemologi Descartes

Dalam pandangan Descartes seperti yang sudah di ketahui, yakni mengenal Tuhan dalam cara causal prima. Jadi dalam pandangan ini segala sesuatu yang ada di dunia ini karena adanya Tuhan, maka segala yang terjadi di dunia ini penyebabnya adalah Tuhan pula bukan? Jadi segala sesuatu apa itu baik atau buruk berasal dari Tuhan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh rekan saya, seorang ateis berasal dari Surabaya yakni Bapak Alex Zulkarnaen dalam sebuah diskusi saya. Beliau berkata demikian pula adanya. Berikut adalah petikan dari diskusi saya tersebut dengan beliau dalam menyikapi pandagan Descartes tersebut!

“Ingat suatu teori kausal prima!, teori kausal prima itu gini; semua…semua yang terjadi dibumi ini atas kehendak Tuhan. Tuhan adalah sebab dari segala masalah. Maka dari teori ini tidak bisa diterima Tuhan. Jadi ada bencana itu dari Tuhan, apa-apa dari Tuhan. Jadi manusia tidak bisa disalahkan. Manusia menjadi kafir pada Tuhan misalnya, Tuhan sendiri yang harus berfikir kenapa manusia harus jauh dari Dia”.

“Ya.. seperti itu. Sama halnya ketika manusia di tuntut kesetiaannya pada Tuhan, tapi apakah Tuhan sudah memberikan yang terbaik bagi manusia?. Perang misalnya!”.

Secara rasioanal itu konsep salah. Tidak ada Tuhan, konsepnya sudah rancu”.

Jadi jelas bahwa konsepsi Ketuhanan yang pertama seperti yang dikemukakan oleh Descartes ini gugur bukan? Jadi tidak pernah akan ada Tuhan. Dan kalaupun ia ada maka seperti halnya yang dikemukakan oleh Huxley, yakni bahwa “… bahwa Tuhan adalah orang yang pertama akan masuk neraka atau Dia adalah orang yang pertama masuk syurga…” . Mengapa? Seperti dalam diskusi kami pula rekan saya bapak Alex mengemukakan demikian ;

“… Sebab Dia (Tuhan) yang menciptakan perang, Dia yang membuat semua ini terjadi, maka dialah harus yang pertama kali diadili. Mengapa harus menjatuhkan sanksi pada setan. Setan-pun dari Tuhan. Maka perkataan yang rasional adalah Tuhan adalah orang yang pertama kali masuk syurga dan Dia adalah orang yang pertama masuk neraka. Dan Tuhan..Harus mengadili dirinya sendiri juga terlebih dahulu sebelum mengadili anda, bapak ini, dan saya. Dia harus mengadili dirinya sendiri. Mengapa situasinya terjadi seperti ini?”.

Berdasarkan hal tersebut tentunya kita tahu bahwa, kami (kaum ateis) benar-benar menolak eksistensi Tuhan, bila konsepsi Tuhan tersebut seperti halnya yang dikemukakan oleh Descartes tersebut.

Penolakan terhadap konsepsi kedua yang ditawarkan oleh Descartes yakni dalam perspektif ontologis. Yakni dengan melihat bahwa entitas tertinggi sebagai perwujudan atau eksistensi Tuhan, yang lebih disebabkan karena tidaklah mungkin suatu entitas tanpa objek atau predikat yang menyandangnya, maka dalam hal ini saya melihat bahwa konsepsi Ketuhanan ini memang benar-benar muncul dri pikiran manusia, jadi perwujudan Tuhan adalah sebuah berhala buatan manusia bukan?

Penolakan kedua terhaap konsepsi kedua dari Descartes adalah jelas bahwa sannya seperti yang diutarakan baik oleh Feuerbach maupun Karl marx, yakni teralienasinya manusia dari dirinya sendiri. Entitas yang dulunya milik manusia bisa menjadi milik Tuhan, bila hal ini sebelumnya belum di temukannya entitas yang lebih tinggi dari entitas sebelumnya yang tinggi tersebut.

Segala yang tinggi milik Tuhan, lalu bagaimana dengan manusia? Bukankah manusialah yang pada awalnya menemukan entitas tertinggi tersebut? Lalu mengapa serta merta di berikan atas nama Tuhan? Maka dalam hal ini manusia teralienasi dari dirinya sendiri.

ANALISIS KRITIS TERHADAP FENOMENA KAUM ATHEIS DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sejarah kebudayaan, manusia di kenal sebagai makhluk yang beragama. Bahkan manusia dikenal sudah lama menyembah Tuhan dalam pelbagai bentuk, dan manusia di manapun tertarik untuk memikirkan Tuhan dari pelbagai sudut. Di India, agama Hindu yang menjadi agama tertua leluhur mereka merupakan agama yang menyembah banyak dewa dan dewi (Armstrong, 2007). Agama Budha lahir dari pemikiran seorang putra mahkota bernama Siddharta yang lahir pada tahun 623 SM. Pangeran Siddharta adalah putra dari raja dari sebuah kerajaan kecil di kaki pengunungan Himalaya, sekarang perbatasan Nepal-India (Capra, 2006 dan Mulyono 2008). Di Eropa realitas Tuhan dan alam semesta muncul dalam pemikiran masyarakat yang kemudian menjadi dasar untuk mencari pengetahuan dan dikenal dengan sebutan ’philosophia’ yang berarti cinta akan pengetahuan (Hatta, 1986). Sepanjang perkembangan agama dan ketuhanan, agama Abrahamik yakni Yahudi, Kristen, dan Islam menjadi agama yang mendominasi di dunia. Kekhasan dalam agama ini adalah mereka hanya memiliki satu Tuhan yakni Allah (Armstrong, 2007).

Masalah Ketuhanan sejak dulu kala memang merupakan sesuatu yang sangat sakral untuk dibicarakan. Di tengah maraknya pembicaraan dan pemujaan terhadap Tuhan, namun tetap saja ada beberapa problematika religius yang dialami oleh manusia. Salah satunya adalah seperti legenda klasik pada filsuf Epicurus pada tahun 341-270 SM yang mempertanyakan kembali eksistensi Ketuhanan.

“…Atau Tuhan mau menghapuskan keburukan, tetapi tidak mampu; atau sebenarnya ia mampu, tetapi tidak mau; atau ia tidak mampu dan tidak mau. Jikalau ia mau, tetapi tidak mampu, ia lemah…. Jikalau ia mampu, tetapi tidak mau, dia jahat…. Tetapi, jikalau Tuhan mampu dan mau menghapuskan kejahatan, … lantas bagaimana kejahatan ada di dunia?” (dalam Lee Strobel, The Case for Faith, Zondervan, 2000:25. bdk. Teodice. 2006:230, dalam Kleden, 2006).

Puncak dari problematika religius yang dihadapi manusia, yakni sejak abad ke-XVI. Sejak Revolusi Industri dan ditemukannya teleskop oleh Galileo Galilei telah membuktikan bahwa teori Copernican benar. Teori Copernican yang dikenal dengan Heliosentris menyatakan bahwa matahari sebagai pusat alam semesta (Besari, 2008 dan Lippincolt, 1997). Teori Heliosentris ini meruntuhkan teori Geosentris Aristoteles yang menyatakan bahwa bumi sebagai pusat alam semesta. Sejak penemuan Galileo tersebut, kepercayaan masyarakat Eropa terhadap Gereja mulai berkurang. Akhirnya, pada abad ke-XIX problematika religius manusia tersebut tertorehkan dalam sebuah wacana Filsafat yang kemudian di kenal sebagai ateisme.

Feuerbach dalam karyanya ‘Das Wesen des Christentum’ mengatakan bahwa agama hanyalah sebuah proyeksi manusia. Allah, malaekat, surga, dan neraka tidak memiliki kenyataan pada dirinya sendiri, karena merupakan angan-angan manusia tentang hakekatnya sendiri. Oleh sebab itu, Feuerbach mengatakan bahwa manusia hanya dapat mengakhiri keterasingannya dan menjadi diri sendiri apa bila ia meniadakan agama. Manusia harus menolak kepercayaan terhadap Allah yang Maha kuat, Maha baik, Maha adil, Maha tahu agar manusia menjadi kuat, baik, adil, dan tahu (Magnis-Suseno, 2006).

Karl Marx seorang tokoh sosialis, dengan mendukung pernyataan Feuerbach tersebut juga memberikan landasan utama tentang konsep alienasi Feuerbach, yakni, bahwa sanya manusia melarikan diri ke hayalan dari pada melanjutkan diri dalam kehidupan nyata, karena dalam kehidupan nyata struktur kehidupan dalam masyarakat tidak mengijinkan manusia untuk mewujudkan hakekatnya. Maka dari itu manusia melarikan diri ke dunia khayalan, karena dunia nyata menindasnya. Berdasarkan uraian tersebut maka Marx menyatakan bahwa agama adalah candu rakyat (Magnis-Suseno, 2006).

Sedangkan Nietzsche dalam ’Die FrÖhliche Wissenschaft’, memaklumkan bahwa Tuhan sudah mati, Tuhan sudah di bunuh, dan manusialah yang telah membunuh Tuhan, dan secara beramai-ramai sudah di kuburkan (Sunardi, 1996).

Sementara itu Freud dalam ‘The Future of an Illusion’, dengan yakin menganggap kepercayaan kepada Tuhan sebagai ilusi yang harus di ditinggalkan manusia (Armstrong, 2007). Menurut Freud agama merupakan suatu ilusi yang berasal dari semacam infantilisme. Kepercayaan religius merupakan suatu penghiburan, suatu kompensasi untuk keadaan manusia yang terlalu berat dan bengis. Paham Allah merupakan penciptaan oleh manusia menurut model ayah sejakmasa kenak-kanak, dimana ayah sebagai figur pelindung sekaligus sebagai yang ditakuti (Berten, 1987).

Di abad ke-XXI wacana ateisme semakin menunjukkan eksistensinya di Dunia. Sejak ahli sains Richard Dawkins, Filsafat Cristoper Hitchans, dan kritikus Sam Harris, yang dalam karya-karya mereka, sebagian besar berupa kritik terhadap konsepsi Ketuhanan dan peranan agama-agama saat ini. Christoper Hitchens, misalnya, dalam ‘God is not Great’ mempertanyakan eksistensi Tuhan lewat kejadian 9/11, katrina, dan tsunami, yang melalui teodice tidak bisa dijawab. Bagi Hitchens tidak ada lagi dasar untuk percaya pada Tuhan. Sementara itu Sam Harris, dalam ‘Letter to a Christian Nation’, yang menyatakan bahwa semakin kau cari ke dalam agama, intoleransi yang kau temukan. Sementara Richard Dawkins dalam ‘The Prove of Existence of God’, berpendapat bahwa semakin diperiksa manusia dengan seluruh proses evolusinya, ketahuanlah bahwa Allah itu tidak faktor, tidak menjadi faktor penentu manusia sampai begini. Jadi tokoh-tokoh ateisme abad ke-XXI ingin menyatakan bahwa Tuhan dan agama, adalah intoleransi dan irrasionalitas (Mohamad, 2007).

Populasi kaum ateis, agnostik, nonreligion, dan sekuler menurut data statistik dunia yang di teliti oleh Michael Pain hingga tahun 2002 berjumlah sekitar 850 milyar jiwa, atau sekitar 14,2 % populasi penduduk dunia. Di Amerika sendiri, hingga tahun 2001 populasi ateis mencapai 902.000 jiwa, atau sekitar 0,4 % dari seluruh populasi penduduk Amerika (http://atheistempire.com/reference/stats/).

Sementara itu di Indonesia, populasi kaum ateis tidaklah di ketahui secara pasti berapa juumlahnya. Hal ini karena keberadaan kaum ateis di Indonesia tidaklah diakui oleh Negara. Hal ini karena Indonesia adalah Negara yang berdasarkan pada Ketuhanan yang Maha Esa. Sehingga, ateisme baik sebagai konsep filosofis maupun penyangkalan adanya Tuhan dalam praktis kehidupan tidak mendapat tempat di Negara ini. Namun demikian, meski atas landasan diatas tersebut, tidak menutup kemungkinan pula adanya pribadi-pribadi yang ateis dalam masyarakat Indonesia. Seperti yang di ungkapkan oleh Alex Zulkarnaen dalam sebuah wawancara dengan peneliti berikut;

”…musibah gelombang tzunami tanggal 26 Desember 2004, yang melanda NAD dan sebagian negara asia lainnya. Respon masyarakat atas musibah ini beragam, tapi semuanya baik langsung taupun tidak langsung, menunjukan sosok misterius, yang ada dibelakang layar, tragedi ini yaitu Tuhan…”

“…semua yang terjadi dibumi ini atas kehendak Tuhan. Tuhan adalah sebab dari segala masalah. Maka dari teori ini tidak bisa diterima Tuhan. Jadi ada bencana itu dari Tuhan…”

“…Secara rasioanal itu konsep salah. Tidak ada Tuhan, konsepnya sudah rancu…”.

B. Rumusan Masalah

Ateisme merupakan penolakan terhadap konsepsi ketuhanan yang sedang berlaku pada suatu saat (Armstrong, 2007). Pada mulanya, term ateis memang ditujukan kepada orang Yahudi dan Kristen karena telah mengingkari keyakinan kaum pagan tentang yang Ilahi, meskipun mereka beriman kepada suatu Tuhan. Baru setelah abad ke-XIX term ateis ditujukan kepada mereka yang secara khusus mengecam konsepsi ketuhanan yang tengah di anut di Barat.

Di Indonesia sendiri, fenomena ateisme tampaknya jauh dari pembicaraan masyarakat Indonesia sendiri. Masyarakat tampaknya malah terkesan masih kental dalam urusan keagamaan dan ketuhanan. Wacana agama dan Tuhan tetap menjadi topik yang menarik dan tidak bosan-bosannya untuk dibicarakan. Tidak ada hari dimana media massa maupun media elektronik yang tidak membawa berita yang berkaitan dengan agama dan Tuhan. Hal ini dikarenakan dalam paradigma masyarakat Indonesia keberadaan kaum ateis tidak mungkin ada dalam Negara yang berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan, kalaupun ada Pemerintah pasti melarang keberadaan kaum ini. Hal ini karena dogtrin Negara yang telah mensinonimkan ateisme dengan komunisme di masa lalu. Sehingga, jelas bahwa keberadaan kaum ini-pun sangatlah dilarang oleh Negara Indonesia. Sementara itu di lain pihak para ahli agama memberi label kaum ateis sebagai orang bebal, bodoh, bid’ah, zindiq atau kafir.

Pembicaraan ateisme akhir-akhir ini terlihat lebih marak di situs-situs internet dalam bentuk blog-blog baik berupa artikel, diskusi, maupun tanya-jawab. Banyak sekali tanggapan dari pandangan kaum teis terhadap kaum ateis, meski senyatanya mereka tidak mengenali kaum ateis tersebut baik secara personal, historis, hingga ideologi kaum ateis. Sedangkan dalam literatur harian post kota, tidak lain hanyalah sebuah profokatif belaka dari eksistensi kaum ateis tersebut yang kian marak di salah satu jaringan komunikasi internet.

Eksistensi kaum ateis di Indonesia dalam realitasnya selain mendapatkan hujatan dan penolakan namun juga pada dasarnya juga mendapatkan empati dan dukungan khususnya dari masyarakat sekuler dan liberal dalam keberagamaan. Bagi mereka keberadaan kaum ini seharusnya mendapatkan tempat yang layak oleh Pemerintah. Namun, apapun pandangan kedua belah pihak tersebut, peneliti ingin melihat lebih dekat dan apa adanya dalam melihat fenomena keberadaan kaum ateis di Indonesia.

Memang, keberadaan kaum ateis di Indonesia merupakan fenomena yang masih sangat kontroversial. Namun, atas dasar itulah maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian terhadap kaum ateis tersebut dengan melakukan analisa secara kritis terhadap segala realitas yang akan menampakkan dirinya yakni realitas pada fenomena kaum ateis di Indonesia tersebut, dengan rumusan-rumusan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah latarbelakang seseorang hingga memutuskan untuk menjadi ateis?

2. Apasajakah paradigma-paradigma yang ada di balik fenomena ateisme di Indonesia?

3. Apakah perbedaan antara ateisme di Barat dengan di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, dengan berdasarkan pada paradigma pendekatan teori Fenomenologi Hursell dan Heidegger maka peneliti akan melihat fenomena tersebut dengan apa adanya. Sedangkan metode dan pengumpulan data dalam penelitian ini dengan berdasarkan pada metode kualitatif. Metode analisis data dalam penelitian adalah dengan dua pendekatan yakni dengan berdasarkan Miles and Huberman (1984), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas, dan datanya sampai jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verivication. Pendekatan yang kedua adalah analisis data kualitatif Koentjoro, Prof dengan menggunakan prosedur coding. Coding merupakan proses yang digunakan dimana data diurai, diberi nama, dan dikonseptualisasikan sehingga menghasilkan makna dan perspektif baru. Konsep-konsep yang dihasilkan kemudian digunakan untuk merekonstruksikan realitas sosial yang mampu mempresentasikan kenyataan yang diteliti. Proses coding tersebut meliputi; open coding dan axial coding. Dengan proses coding tersebut maka akan di dapatkan hasil penelitian yang kemudian peneliti akan menganalisis fenomena keberadaan kaum ateis di Indonesia tersebut secara kritis dengan berdasarkan teori psikoanalisis dan filsafat dialektis.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan dalam penelitian tersebut maka jelas bahwa, manfaat yang di diharapkan dalam penelitian ini secara teoritis adalah dapat memberikan informasi yang benar-benar mampu memberikan realitas yang sebenarnya dalam fenomena ateisme di Indonesia. Sedangkan secara praktis penelitian ini diharapkan;

1. Bagi masyarakat: dengan mengetahui realitas dalam fenomena ateisme di Indonesia, maka diharapkan akan memberikan pemikiran yang baru dan bersifat empiris sehingga dapat dijadikan telaah/kajian bagi masyarakat di Indonesia dalam memandang keberadaan kaum ateis di Indonesia.

2. Bagi kaum ateis: dengan analisis kritis ini, maka diharapkan akan menjadi telaah dan feedback baik dari peneliti ke kaum ateis, maupun sebaliknya dari kaum ateis terhadap peneliti.

Saya akan mengambil luka anda

Selasa, 28 Februari 2012

Sejak kemarin saya melihat anda.
Kemudian saya berbicara dengan cerita cerita luka.
Ternyata saya mendapati jiwa anda dalam keterpurukan.
Saya merasa sama dengan anda.
Saya mulai mendapatkan anda untuk membagi luka yang sama.
Jangan anda menyerah sebelum berpikir.
Saya akan membantu anda melihat ke depan sana.
Kita sama sama belum bahagia
Jangan menyimpan dan membiarkan rasa sakit anda sendiri.
Saya datang mungkin dari rencana Tuhan.
Begitu juga ketika anda menerima kedatangan saya sebagai tamu anda.
Ada Tuhan di balik kita. Jika anda percaya akan kita saksikan bersama.
Jangan membiarkan air mata anda teruh jatuh.
Saya akan membuatnya berhenti mengalir dengan menutup lubang di hati anda.
Saya akan datang untuk hari hari anda sampai luka itu kering.
Saya juga terluka.
Tetapi akan membaik bersama anda